Introspeksi Diri "bekas anak jalanan"


Cermin Diri Untuk Diri
 Di sebuah kehidupan yang keras ini, ada sebuah cerita yang tragis ketika seorang yang sangat potensial, akhirnya tersingkir dari pusat kekuasaan. Banyak orang tidak mengira, orang secerdas, sepandai itu bisa terpinggirkan dari lingkungan yang kompetitif dan luar biasa bagusnya. Ironisnya, tidak ada satupun yang mau menolongnya.
Kita boleh melihatnya sebagai sebuah kewajaran, proses rotasi yang lumrah. Sebagai proses pembelajaran. Bagi orang yang “waras”, instropeksi diri adalah hal terpenting dalam menyikapi hal tersebut. Melihat dari bingkai kacamata positif; sebagai cobaan. Ketika satu orang melihat hal tersebut akibat dari kesalahan yang bersangkutan, itu masih wajar. Tapi ketika lebih dari satu orang mengatakan itu hal yang wajar yang harus diterimanya, maka yang bersangkutan seharusnya perlu cermin diri.
Tapi bagi orang yang tidak memiliki “cermin diri” yang bagus, bisanya hanya mengumpat, mencari kesalahan-kejelekan mantan atasan, menebar kebencian, dan tidak senang dengan kemajuan teman. Krasak-krusuk dan bikin onar.
***
Cermin dalam istilah Sunda adalah ‘Kaca paranti ningali nyalira‘. Cermin digunakan untuk melihat kerapihan kita sebelum bepergian meninggalkan rumah. Berangkat ke kerja, pergi jalan-jalan, mau pergi pergian dan lain-lain. Sebelum keluar rumah mampir dulu ke cermin. Apakah dandanan kita sudah rapi? Apakah pakaian kita sudah pantas?

Dalam terminologi kehidupan, cermin (diri) bisa diartikan sebagai self-instropection (instropeksi diri), self-correction (koreksi diri), muhasabah; yakni orang yang memiliki kepekaan, mau mendengarkan kritik-saran orang lain.
Cermin diri bisa menangkap dengan cepat saran, masukan, bisikan dari teman, saudara, atasan, dan sebagainya. Bila perlu, cermin diri tidak harus sampai menunggu segala input datang dari luar, tapi datang dari diri sendiri.
Dibutuhkan waktu, proses hidup, interaksi sosial yang cukup untuk bisa meraih cermin diri. Sejarah masa lalu, didikan waktu kecil, trauma nenek moyang, faktor lingkungan keluarga dan masyarakat cukup mempengaruhi persentasi kadar “cermin diri”.
Orang yang masa lalunya terdzalimi, teraniaya, terbiasa “anak mama” , tentu typenya suka menang sendiri, dominan, tidak mau kalah. “Cermin diri” tentu jauh dari harapan. Tidak merasa punya salah. Easy going dengan dunianya sendiri. Ma’af, ejakulasi dini dengan pemikirannya sendiri.
Berteman hanya untuk menyakiti, adu-domba, maunya mendominasi, memfait accomply, memaksa orang harus melihat dan mendengar opininya(haha so banget bahasanya si kopral). Merasa paling bisa, paling pintar, sehingga tidak bisa menerima dengan legowo ketika teman-temannya mendapatkan rejeki-kesempatan yang lebih baik. Memfitnah teman yang lebih baik. Terlihat baik di depan, tapi berkhianat di belakang.
Smoga kita bukan bagian dari golongan ini.
Wallahu’alam bi ash showab.

0 comments: